Kabupaten Banyumas adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Kota Purwokerto. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Brebes di utara; Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, dan Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan barat. Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah terdapat di ujung utara wilayah kabupaten ini.
Kabupaten Banyumas merupak

 sejarah banyumas

Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum`at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.
Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.
Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.
Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.
Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.
Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.
Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah "BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA" artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah "KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN".


PARA ADIPATI DAN BUPATI SEMENJAK BERDIRINYA
KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1582

1. R. Joko Kahiman, Adipati Warga Utama II (1582-1583)
2. R. Ngabei Mertasura (1583-1600)
3. R. Ngabei Mertasura II (Ngabei Kalidethuk) (1601 -1620)
4. R. Ngabei Mertayuda I (Ngabei Bawang) (1620 - 1650)
5. R. Tumenggung Mertayuda II (R.T. Seda Masjid, R.T. Yudanegara I) Tahun 1650 - 1705
6. R. Tumenggung Suradipura (1705 -1707)
7. R. Tumenggung Yudanegara II (R.T. Seda Pendapa) Tahun 1707 -1743.
8. R. Tumenggung Reksapraja (1742 -1749)
9. R. Tumenggung Yudanegara III (1755) kemudian diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I.
10. R. Tumenggung Yudanegara IV (1745 - 1780)
11. R.T. Tejakusuma, Tumenggung Kemong (1780 -1788)
12. R. Tumenggung Yudanegara V (1788 - 1816)
13. Kasepuhan : R. Adipati Cokronegara (1816 -1830)
Kanoman : R. Adipati Brotodiningrat (R.T. Martadireja)
14. R.T. Martadireja II (1830 -1832) kemudian pindah ke Purwokerto (Ajibarang).
15. R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864)
16. R. Adipati Cokronegara II (1864 -1879)
17. Kanjeng Pangeran Arya Martadireja II (1879 -1913)
18. KPAA Gandasubrata (1913 - 1933)
19. RAA. Sujiman Gandasubrata (1933 - 1950)
20. R. Moh. Kabul Purwodireja (1950 - 1953)
21. R. Budiman (1953 -1957)
22. M. Mirun Prawiradireja (30 - 01 - 1957 / 15 - 12 - 1957)
23. R. Bayi Nuntoro (15 - 12 - 1957 / 1960)
24. R. Subagio (1960 -1966)
25. Letkol Inf. Sukarno Agung (1966 -1971)
26. Kol. Inf. Poedjadi Jaringbandayuda (1971 -1978)
27. Kol. Inf. R.G. Rujito (1978 -1988)
28. Kol. Inf. H. Djoko Sudantoko (1988 - 1998)
29. Kol. Art. HM Aris Setiono, SH, S.IP (1998 - 2008)
30. Drs. H. Mardjoko, M.M. (2008 - sekarang)

Budaya

Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa.
Di antara seni pertunjukan yang terdapat di Banyumas antara lain:
  • Wayang kulit gagrag Banyumas, yaitu kesenian wayang kulit khas Banyumasan. Terdapat dua gagrak (gaya), yakni Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Kekhasan wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
  • Begalan, adalah seni tutur tradisional yang pada upacara pernikahan. Kesenian ini menggunakan peralatan dapur yang memiliki makna simbolis berisi falsafah Jawa bagi pengantin dalam berumah tangga nantinya.
Kesenian musik tradisional Banyumas juga memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan kesenian musik Jawa lainnya, di antaranya:
  • Calung, adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumas yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan Jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (Bahasa Jawa: disebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransemen ulang.
  • Kenthongan (sebagian menyebut tek-tek), adalah alat musik yang terbuat dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan bedug, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras.
  • Salawatan Jawa, yakni salah satu seni musik bernapaskan Islam dengan perangkat musik berupa terbang jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.
  • bongkel, yakni peralatan musik tradisional sejenis angklung, namun terdiri empat bilah berlaras slendro.
Sejumlah tarian khas Banyumasan antara lain:
  • lengger, merupakan tarian yang dimainkan oleh dua orang perempuan atau lebih. Di tengah-tengah pertunjukkan hadir seorang penari laki-laki disebut badhud (badut/bodor). Tarian ini umumnya dilakukan di atas panggung dan diiringi oleh alat musik calung.
  • sintren, adalah tarian yang dimainkan oleh laki-laki yang mengenakan baju perempuan. Tarian ini biasanya melekat pada kesenian ebeg. Di tengah-tengah pertunjukan biasanya pemain ditindih dengan lesung dan dimasukan ke dalam kurungan, dimana dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama pemain yang lain.
  • aksimuda, yakni kesenian bernapaskan Islam berupa silat yang digabung dengan tari-tarian.
  • angguk, yakni kesenian tari-tarian bernapaskan Islam. Kesenian ini dilakukan oleh delapan pemain, dimana pada akhir pertunjukan pemain tidak sadarkan diri.
  • aplang atau daeng, yakni kesenian yang serupa dengan angguk, dengan pemain remaja putri.
  • buncis, yaitu paduan antara kesenian musik dan tarian yang dimainkan oleh delapan orang. Kesenian ini diiringi alat musik angklung.
  • ebeg, adalah kuda lumping khas Banyumas. Pertunjukan ini diiringi oleh gamelan yang disebut bendhe.
an bagian dari wilayah budaya Banyumasan, yang berkembang di bagian barat Jawa Tengah. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Banyumasan, yakni salah satu dialek bahasa Jawa yang cukup berbeda dengan dialek standar bahasa Jawa ("dialek Mataraman") dan dijuluki "bahasa ngapak" karena ciri khas bunyi /k/ yang dibaca penuh pada akhir kata (berbeda dengan dialek Mataraman yang dibaca sebagai glottal stop

Kuliner

Makanan khas dari Banyumas di antaranya adalah:
  • Keripik tempe,
  • Mendoan tempe,
  • sate bebek Tambak,
  • Soto Sokaraja, dage, dan
  • Getuk goreng sokaraja
  • Jenang jaket khas Mersi (Purwokerto Timur)
sumber wikipedia

Sejarah Daerah Banyumas

Posted by : Unknown 1 Comment
Tag : ,


Kabupaten Blora, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Blora, sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah timur, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobogan di barat.
Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora.

Sejarah Blora

Asal Usul Nama Blora
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.
Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan di bawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih di bawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi:
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi takhta Demak, pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora di bawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) daerah Blora diberikan kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Zaman Perang Mangkubumi (tahun 1727–1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749), terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi raja di Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Blora di bawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama 'palihan negari', karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram, Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.
Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah (petani). Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani antikolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal bersenjata.
Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah Belanda antara lain:
Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora
Perubahan pola pemakaian tanah komunal
Pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk
Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunyai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidakadilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Situs-Situs Kuno

Situs Fosil Fauna Purba
Lokasi situs fosil hewan purba terletak di Dukuh Kawung dan Singget, Desa Menden dan Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Lokasinya berada di tepian daerah aliran sungai Bengawan Solo dan berjarak kurang lebih 65 km arah selatan dari Kota Blora. Di Lokasi ini telah ditemukan fosil Kepala kerbau purba, kura-kura purba, dan Gajah Purba. Diperkirakan umur fosil antara 200.000-300.000 tahun. Fosil ini awalnya ditemukan oleh penduduk kemudian diamankan oleh Yayasan Mahameru. Sekarang sedang diteliti oleh ahli antropologi dari Bandung, Fahrul Azis dan tim dari Wolongong University, Australia, yang dipimpin Gertz Vandenburg.
Situs Wura-Wari
Lokasi Situs Wura-wari ini terletak di Desa Ngloram, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Haji Wura-Wari adalah penguasa bawahan (vasal) yang pada tahun 1017 Masehi menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa Raja Darmawangsa Teguh). Saat itu Kerajaan Mataram Hindu berpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan Maospati, Magetan, Jawa Timur. Serangan dilakukan ketika pesta pernikahan putri Raja Darmawangsa Teguh dengan Airlangga, yang juga keponakan raja, sedang dilangsungkan. Membalas dendam atas kematian istri, mertua, dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari penyerangan dan tinggal di Wanagiri (di daerah perbatasan Jombang-Lamongan), akhirnya balik menghancurkan Haji Wura-Wari. Namun, sebelumnya Haji Wura-Wari terlebih dahulu menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa mengungsi dan keluar dari keratonnya di Wattan Mas (sekarang Kecamatan Ngoro, Pasuruan, Jawa Timur). Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah dinobatkan menggantikan Darmawangsa Teguh, ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI) yang terjadi pada tahun 1032 M. Serangan itu pula yang memperkuat dugaan batu bata kuno berserakan di sekitar situs tersebut. Situs yang ditemukan tim ekspedisi berada di tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini dijadikan areal pemakaman. Sejak tahun 2000, telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno berukuran 20 x 30 sentimeter dengan tebal sekitar 4 cm, serpihan keramik, serta serpihan perunggu yang kini disimpan di Museum Mahameru. Temuan di situs itu memperkuat isi Prasasti Pucangan bertarikh Saka 963 (1041/1042 Masehi) yang pernah diuraikan ahli huruf kuno (epigraf) Boechori dari Universitas Indonesia. Boechori menyebutkan, "Haji Wura-Wari mijil sangke Lwaram". Mijil mempunyai arti keluar (muncul dari). Hasil analisis toponimi (nama tempat), kemungkinan nama Lwaram berubah menjadi Desa Ngloram sekarang. “Pelesapan konsonan ’w’, penyengauan di awal kata, dan perubahan vokal ’a’ menjadi ’o’ menjadikan nama lama Lwaram menjadi Ngloram sekarang. Penjelasan seperti itu pula yang membantah berbagai pendapat terdahulu yang menyebutkan Haji Wura-Wari berasal dari daerah Indocina atau Sumatera sebagai koalisi Sriwijaya. Cepu memiliki data arkeologis, toponimi, dan geografis kuat untuk melokasikannya di tepian Bengawan Solo di Desa Ngloram.
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, sekitar 8 kilometer dari Kota Cepu. Petilasannya berwujud makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat tersebut juga terlihat Petilasan Siti Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, dan Petilasan Masjid. Ada juga makam kerabat kerajaan, antara lain makam R. Bagus Sumantri, R. Bagus Sosrokusumo, R. A. Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng, terdapat Makam Santri Songo. Disebut demikian karena di situ ada sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata Sultan Hadiwijaya.

Rupa-rupa

  • Makanan khas Blora adalah: satai kambing/satai ayam khas Blora, lontong tahu, limun kawis, serabi, es cau, keripik tempe garing abiz khas Blora dan mMho. Di Blora juga ada makanan khas yang hanya ada pada kawasan hutan Jati yakni ungker (sejenis kepompong).
  • Kesenian khas Blora adalah: Barongan dan Tayub.
  • Tempat pariwisata di Kabupaten Blora: Goa Terawang, Waduk Tempuran, Wisata Kereta Lokomotif lewat hutan jati.
  • Tanaman hias merupakan bisnis yang menjanjikan di Blora.
  • Sentra kerajinan kayu jati berada di Jepon yang terletak 7 km dari Blora ke arah Cepu.
  • Wali, grup musik Pop Melayu yang semua personilnya berasal Blora yang lebih memilih Tangerang sebagai kota domisili lain selain Blora itu sendiri.
  •  
    sumber wikipedia

Sejarah Kabupaten Blora

Posted by : Unknown 1 Comment
Tag : ,
Asal mula nama BOYOLALI menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal. Menurut legenda nama BOYOLALI berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI. Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh Sunan Kalijogo sebagai Wali penutup menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama Islam. Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng banyak menemui rintangan dan batu sandungan sebagai ujian. Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan anak dan istri ketika berada di sebuah hutan belantara beliau dirampok oleh tiga orang yang mengira beliau membawa harta benda ternyata dugaan itu keliru maka tempat inilah sekarang dikenal dengan nama SALATIGA. Perjalanan diteruskan hingga sampailah disuatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel dan tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali. Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng beristirahat di sebuah Batu Besar yang berada di tengah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Berucap “ BAYA WIS LALI WONG IKI” yang dalam bahasa indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”.Dari kata Baya Wis Lali/ maka jadilah nama BOYOLALI. Batu besar yang berada di Kali Pepe yang membelah kota Boyolali mungkinkah ini tempat beristirahat Ki Ageng Pandan Arang. Mungkin tak ada yang bisa menjawab dan sampai sekarang pun belum pernah ada meneliti tentang keberadaan batu ini. Demikian juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar Sunggingan Boyolali, konon menurut masyarakat setempat batu ini dulu adalah tempat untuk beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang. Dalam istirahatnya Nyi Ageng mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu). Karena batu ini mirip dakon, masyarakat disekitar Pasar Sunggingan menyebutnya mBah Dakon dan hingga sekarang batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani mengusiknya.

Geografi

Kabupaten Boyolali membentang barat-timur sepanjang 48 km, dan utara-selatan 54 km. Sebagian besar wilayahnya adalah dataran rendah dan dataran bergelombang dengan perbukitan yang tidak begitu terjal. Menurut ketinggian, wilayah Kabupaten Boyolali dikelompokkan sebagai berikut:
Dataran Tinggi di Barat
Bagian barat merupakan daerah pegunungan, dengan puncaknya Gunung Merapi (2.911 m) dan Gunung Merbabu (3.141 m), keduanya adalah gunung berapi aktif. Daerah dengan ketinggian sekitar 700-3.000 m dpl ini meliputi lima kecamatan, yaitu Ampel, Cepogo, Musuk, dan Selo, dan ditandai oleh iklim yang sejuk dan sesuai untuk pertanian, terutama untuk tanaman seperti kol, wortel, bawang merah, tembakau, teh, dan cengkeh. Wilayah ini juga sebagai pusat produksi susu di Boyolali. Dengan tanah vulkanik yang baik dan dekat pusat administrasi kabupaten, wilayah ini memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Pada kedua gunung berapi, budidaya pertanian oleh masyarakat hingga batas sekitar 1600-1800 m di atas permukaan laut dan berakhir di perbatasan hutan nasional yang dilindungi.

Dataran Rendah di Timur
Daerah antara pusat kota Boyolali ke timur menuju arah Kota Surakarta (Solo) sebagian besar datar dan didominasi oleh sawah. Sumber air yang paling alami dan sungai-sungai utama dapat ditemukan di sini. Dengan ketinggian 100-400 m dpl, selain meliputi daerah pusat kota di kecamatan Boyolali dan Mojosongo, daerah ini meliputi empat kecamatan lainnya, yaitu Teras, Banyudono, Teras, dan Sawit. Daerah ini berada di jalur utama Semarang-Solo, dengan pusat-pusat industri berada di jalur utama ini. Di bagian timur daerah ini terdapat Bandara Internasional Adi Sumarmo yang melayani untuk kawasan Solo dan sekitarya, serta asrama haji Donohudan yang digunakan oleh jamaah haji dari Jawa Tengah bagian utara, sebagai akomodasi ketika hendak berangkat ziarah ke Makkah untuk ibadah haji melalui Bandara Internasional Adi Sumarmo, maupun sepulangnya.
Bagian Utara
Wilayah terluas meliputi bagian utara kabupaten, meliputi kecamatan Sambi, Nogosari, Simo, Klego, Andong, Karanggede, Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi. Daerah ini memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah dibandingkan daerah lainnya, dan memiliki hambatan dari kondisi geografis, geologis, dan infrastruktur. Dengan iklim yang relatif kering, walaupun dilalui oleh beberapa sungai utama Boyolali, sebagaian besar daerah ini kurang sesuai untuk budidaya tanaman padi persawahan basah. Dengan kurang adanya dukungan jalan utama di daerah ini, hampir tidak ada industri besar dapat ditemukan. Sumber daya alam yang paling penting adalah budidaya kayu jati dengan adanya hutan jati di daerah utara Boyolali. Pada daerah utara ini juga terletak Waduk Bade di kecamatan Klego, serta ada Waduk Kedungombo yang daerah genangannya meliputi sebagian kecamatan Kemusu dan Juwangi (sedangkan bendungannya termasuk wilayah Sragen) yang digunakan untuk mengairi lahan persawahan seluas 3.536 HA di wilayah utara Jawa Tengah dan dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi dari sektor pariwisata dan perikanan air tawar. Bagian utara yang berbatasan dengan Kabupaten Grobogan merupakan daerah perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kendeng.

TEMPAT WISATA

Air Terjun Kedung Kayang

Objek wisata ini terletak di Desa Klakah yang berjarak 5 kilometer ke arah barat dari Kecamatan Selo. Daerah wisata ini memiliki pemandangan alam berupa air terjun yang terletak di antara 2 kabupaten, yaitu Boyolali dan Magelang. Air Terjun Kedung Kayang yang memiliki ketinggian 30 meter ini masih alami dan belum dieksploitasi besar-besaran, mengingat jalan menuju ke objek wisata tersebut seperti layaknya jalan di daerah perkampungan. Di sekitar objek wisata ini terdapat tanah datar yang cocok untuk area perkemahan. Potensial untuk aktivitas camping, hiking, climbing.
Fasilitas yang tersedia berupa penginapan/ homestay, perkemahan, dan warung. Waktu yang paling ramai dikunjungi adalah hari sabtu-minggu dan hari libur nasional terutama bagi pasangan muda-mudi.

Waduk Badhe 

Terletak di Desa Bade Kecamatan Klego sekitar 40 km ke arah utara dari Kota Boyolali sebagai sarana irigasi bagi pertanian dan perikanan bagi masyarakat sekitar, memiliki pemandangan alam yang mempesona. Failitas yang terdapat disini adalah: rumah makan, wisata air, pemancingan, dan area lomba burung.

Waduk Cengklik

Obyek wisata ini terletak di Desa Ngargorejo dan Sobokerto, Kecamatan Ngemplak ± 20 km, ke arah timur laut Kota Boyolali, Bila dari Bandara Adi Sumarmo ± 1,5 KM (di sebelah barat bandara tepatnya). waduk dengan luas genangan 300 ha ini dibangun pada zaman Belanda, tujuannya untuk mengairi lahan sawah seluas 1.578 ha, bisa untuk latihan sky air.
Letaknya sangat strategis, berdekatan dengan Bandara Adi Sumarmo, Asrama Haji Donohudan, Monumen POPDA, dan Lapangan Golf. Fasilitas: wisata air (water resort), pemancingan (fishing area), rumah makan lesehan (floating restaurant).

Waduk Kedung Ombo

Obyek wisata ini terletak di Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, sekitar ± 50 km ke arah utara Kota Boyolali menjanjikan rekreasi hutan dan air yang menyegarkan serta pemancingan. Fasilitas: bumi perkemahan, hutan wisata, tempat pemancingan, rumah makan apung, wisata air.

Gunung Merapi dan Gunung Merbabu

Terletak 25 km dari Kota Boyolali kearah barat. Obyek Wisata Gunung Merapi salah satu gunung yang teraktif di dunia, selain itu pemandangan alamnya sangat indah serta panorama alam masih asli. Bagi pecinta alam yang senang berpetualang merupakan jalur terpendek untuk mencapai puncak gunung Merapi 4 jam dan untuk mencapai puncak gunung Merbabu 8 jam. Dengan mendaki puncak Merapi para pendaki dapat melihat matahari terbit "Sun Rise."
Setiap malam 1 Suro diadakan Upacara Tradisional Sedekah Gunung sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lonjakan wisata pendakian pada menjelang tgl 1 Suro, Tahun Baru, 17 Agustus (Pengibaran Bendera Merah Putih di Puncak Merapi).
Fasilitas: TIC (Tourism Information Centre) Joglo Merapi I, Home Theatre New Selo, Wall Climbing, Lapangan Tenis, Gedung Diklat, Bungalow Tersenyum, Home Stay, Warung Makan/ Makanan Khas Selo, Souvenir.

Tlatar Reservoir

Terletak di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali dengan jarak tempuh dari kota kira-kira 4 km ke arah utara. Nuansa pesona alam terhampar dengan latar belakang budaya desa dan air yang melimpah, aroma kelezatan masakan ikan air tawar yang disajikan baik secara goreng maupun bakar sambil memancing dan duduk santai sungguh merupakan rekreasi menyegarkan di Obyek Wisata Tlatar.
Pemandian ini adalah pemandian untuk keluarga dengan sumber air berasal dari mata air. Ada 2 buah pemandian de, yaitu Pemandian Umbul Pengilon dan Pemandian Umbul Asem. Selain itu ada beberapa kolam renang rekreasi, termasuk kolam renang berstandar olimpiade.
Setiap dua hari menjelang bulan Puasa diadakan even Padusan. Upacara Padusan ini juga diselenggarakan di Umbul Pengging dan Pantaran. Acara ini bertujuan untuk mensucikan diri sebelum melaksanakan ibadah puasa.
Fasilitas yang tersedia: rumah makan lesehan, pemancingan, kios cenderamata, kolam renang anak dan dewasa, taman wisata air, lapangan woodball, panggung hiburan setiap menjelang bulan Puasa

Pemandian Umbul Pengging

Terletak di Banyudono, merupakan wahana wisata kreasi air. Penging memiliki keunggulan dimana dulunya merupakan tempat mandi keluarga Kasunanan Surakarta (Pemandian Tirto Marto). Sehingga disekitar Pengging ini masih dapat ditemukan bangunan-bangunan bersejarah yang unik milik Kasunanan Surakarta. Juga terdapat makam salah seorang pujangga Keraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Yosodipuro.

Wisata Budaya

Sedekah Gunung

Upacara ini diselenggarakan di Desa Lencoh, Kecamatan Selo setiap malam 1 Suro. Acara ini merupakan prosesi persembahan kepala kerbau dan sesaji ke kawah gunung Merapi sebagai tAnda syukur masyarakat Selo dan sekitarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara ini dimeriahkan dengan tarian dan atraksi oleh masyarakat setempat. Waktu pelaksanaan mulai jam 22:00 sampai 24:00 dan diakhiri dengan kirab potongan kepala kerbau serta gunungan nasi jagung sebagai sesaji yang diletakkan di Pasar Bubrah.Terdapat tiga acara utama selama prosesi upacara berlangsung, yaitu kirab sirah maeso atau kepala kerbau, kirab saji Gunung Merapi serta kirab ratusan obor. Kirab ratusan obor menjadi daya tarik lebih karena baru diadakan pada tahun 2010.
Tradisi ini bermula dari ritual tolak bala yang dilakukan Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta dengan menumbalkan seekor kerbau ke Gunung Merapi. Seiring waktu, kini warga hanya menumbalkan bagian kepalanya saja.

Kirab budaya

Tradisi ini berada di desa Samiran kecamatan Selo kabupaten Boyolali. dilaksanakan setiap tanggal 2 sura. dimulai dari pelataran gua raja, yang menurut legenda dahulu kala gua itu dijadikan tempat peristirahatan pangeran Diponegoro. Kirab dimulai dengan pengambilan air suci barokah yang berada di kawasan gua raja dan diarak beserta iring-iringan tumpeng-tumpeng hasil bumi dari kawasan sekitar Selo. Ribuan warga desa Samiran ikut serta mengiring arak-arakan tumpen beserta air tersebut, dengan mengenakan pakaian adat, untuk menuju ke pesanggrahan Kebo Kanigoro.sesampainya di Kebokanigoro, air suci barokah dari Guaraja di satukan dengan air perwita sari air yang diambil dari kawasan pesangrahan Kebo Kanigoro.

Sadranan

Sadranan yaitu suatu tradisi masyarakat untuk membersihkan makam leluhur dan ziarah kubur dengan prosesi penyampaian doa dan kenduri yang dilaksanakan oleh warga setempat berujud aneka makanan dan nasi tumpeng.Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada pertengahan bulan Ruwah (penanggalan jawa) menjelang datangnya bulan Ramadhan.Selain mengirim doa kepada para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal, Sadranan bertujuan juga untuk melestarikan budaya peninggalan nenek moyang yang sudah berlangsung turun-temurun.
Acara diawali dengan bersih-bersih makam pada pagi hari. Dengan bermodalkan cangkul dan sabit, masyarakat membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sekitar makam. Setelah selesai mereka pulang dan kembali ke pemakaman sambil membawa tenong yang berisi makanan dan buah-buahan.Sebelum kendurenan sadranan dimulai, warga membaca tahlil dan dzikir, berdoa bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah selesai berdoa dilanjutkan dengan makan bersama. Sadranan tidak hanya diikuti oleh orang dewasa, anak-anak pun ikut berpartisipasi sehingga suasana menjadi meriah.

Ngalap Berkah Paringan Apem Kukus Keong Emas

Dilaksanakan di kawasan wisata Pengging di lingkungan Makam Astana luhur R. Ng. Yosodipuro pada hari Jum'at pertengahan bulan Sapar. R. Ng. Yosodipuro adalah seorang Pujangga Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Karena kearifannya seringkali rakyat Pengging memohon petunjuk termasuk pada saat petani meminta bantuannya untuk mengatasi serangan hama keong mas.
Atas petunjuk R. Ng Yosodipuro para petani mengambil keong mas tersebut kemudian dimasak dengan cara dikukus. Sebelumnya keong tersebut dibalut dengan janus yang dibentuk seperti keong mas. Setiap kali panen padi janur bekas balutan keong mas tersbut digunakan untuk membuat apem kukus. Apem kukus itu kemudian dibagi-bagikan pada petani sebagi wujud syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan dan juga berkurangnya hama keong. Tradisi bagi-bagi apem akhirnya terus berkembang hingga berjalan sampai sekarang.
Upacara ini merupakan tradisi berebut makanan dengan perwujudan menerima pembagian kue terbungkus janur yang telah didukung dengan mantera dan do'a oleh Kyai ulama yang berlokasi di makam Astono luhur R. Ng. Yosodipuro pada malam Jum'at pertengahan bulan Sapar dan dibagikan pada Jum'at siang setelah salat jum'at. Bagi masyarakat yang percaya jika berhasil mendapatkan apem maka diyakini akan mendatangkan berkat.

Kawasan Pengging

Pemandian Tirto Marto
Pemandian ini terletak di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono dengan jarak tempuh dari kota Boyolali adalah 12 km. Pemandian ini dahulu digunakan oleh Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X beserta kerabatnya. Di dalam pemandian ini terdapat tiga buah umbul, yaitu Umbul Penganten, Umbul Ngabean, dan Umbul Duda.
Sekarang, di pemandian ini sering digunakan oleh peziarah untuk mengadakan ritual yang disebut Ritual Kungkum. Ritual Kungkum adalah ritual merendam diri peziarah di dalam air sebatas leher yang dimulai mulai pukul 24.00 - 03.00 wib pada malam Jum'at. Selain ritual tersebut ada juga Even Padusan yang dilaksanakan 2 (dua) hari menjelang bulan puasa.
Masjid Cipto Mulyo
Masjid Cipto Mulyo adalah Masjid Peninggalan Sunan Pakubuwono X. Terletak di Kawasan Wisata Pengging Kecamatan Banyudono. Lokasi wisata ini dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum dengan jarak kurang lebih 1,5KM dari Jalan Raya Solo-Semarang. Dari pusat kota Boyolali, lokasi wisata ini berjarak kurang lebih 15KM.
Umbul Sungsang
Umbul Sungsang adalah tempat untuk ritual Kungkum (berendam dalam air sambil menunggu hasil Sanggaran di makam R. Ng. Yosodipuro)
Pengging Fair
Pengging fair adalah salah satu acara dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI yang diselenggarakan di Desa Pengging, Kec. Banyudono dengan menampilkan pasar malam dan festival seni budaya. Acara ini dilaksanakan selama seminggu dan diadakan sekali dalam satu tahun.
Pasar Malam dimeriahkan oleh pedagang baik lokal maupun luar daerah yang menjajakan dagangannya selama Festival berlangsung. Festival budaya diadakan oleh masyarakat setempat seperti karnaval dan hiburan seni. Karnaval dilaksanakan disepanjang jalan Pasar Pengging diteruskan oleh drum band, reog, dan barongsai. Hiburan seni menampilkan campursari, band remaja, dan wayang kulit semalam suntuk.
Jika Anda berkunjung ke Boyolali pada bulan Agustus, sempatkanlah untuk menyaksikan Pengging fair.
Makam R. Ng. Yosodipuro
R. Ng. Yosodipuro adalah seorang Pujangga Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dengan jarak tempuh dari kota 12 km, makam ini setiap malam Jumat Pahing diadakan Upacara Sanggaran. Masih disekitar Makam R. Ng. Yosodipuro,Upacara Ngalap Berkah Paringan Apem Keong Emas ini dilaksanakan, pada pertengahan Bulan Sapar.
Upacara ini merupakan tradisi berebut apem (makanan khas yang terbuat dari tepung beras) yang terbungkus janur (daun kelapa yang masih muda) dan telah didoakan oleh Kyai/ Ulama dan dibagikan pada Jumat siang setelah Sholat Jumat.
Ada Masjid peninggalan Sunan Paku Buwana X.
Legenda Bandung Bondowoso
Di jaman dahulu, terdapat Kerajaan Pengging yang bersamaan dengan Kerajaan Boko di Prambanan. Kerajaan Pengging yang dipimpin oleh Prabu Damar Moyo yang arif bijaksana, yang mempunyai putra bernama Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso ini yang terkait dalam Legenda Roro Jonggrang dan Candi Prambanan.

Pesanggrahan Pracimoharjo

Merupakan petilasan Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai obyek wisata minat khusus/ ziarah, Terletak di Desa Paras, Kecamatan Cepogo.

Makam Ki Ageng Pantaran

Di Pantaran Desa Candisari Kecamatan Ampel. Jarak tempuh dari kota 17 km. Makam ini cukup potensial sebagai tempat ziarah, karena terdapat Petilasan Ki Kebo Kanigoro, petilasan Syeh Maulana Malik Ibrahim Maghribi, Petilasan Ki Ageng Pantaran. Pengunjung dapat menikmati pemandangan alam di kaki gunung Merbabu dan air terjun Si Pendok. Setiap tanggal 20 suro diadakan event upacara tradisional Buka Luwur. Fasilitas: Bangsal tempat tirakat, Bukit Perkemahan Indraprasta.

Makam Prabu Handayaningrat

Obyek wisata ini terletak di dukuh Malang, desa Dukuh, kecamatan Banyudono. Makam ini merupakan trah dari majapahit.

Makam Ki Ageng Kebo Kenanga

Obyek wisata ini terletak di dukuh Pengging, desa Jembungan, kecamatan Banyudono. Banyak oranga yang berkunjung dengan berbagai tujuan.

Petilasan Kebo Kanigoro

Gunung Tugel dan Makam Ki Ageng Singoprono

Obyek wisata ini terletak di Desa Nglembu, Kecamatan Sambi, sekitar ± 15 km ke arah timur laut Kota Boyolali. Lokasi ini lebih dekat ditempuh dari kota kecamatan Simo yang berjarak hanya sekitar 3 km dari pusat kota. Tempat ini menjanjikan rekreasi perbukitan dan ratusan tangga menuju makam Ki Singoprono di puncak gunung tugel. Obyek Wisata Khasanah yang di kunjungi setiap malam Jumat dan malam Selasa Kliwon, Lokasi Makam Ki Ageng Singoprono yang menarik dengan letaknya yang sangat indah. Fasilitas: Bumi Perkemahan, Hutan Wisata, Tempat Menyepi dan Tempat Berdoa di puncak gunung tugel.

Candi Lawang

Namanya adalah Candi Lawang. Lawang itu bahasa Jawa yang artinya pintu. Lha kenapa disebut seperti itu? Karena candi ini sangat mencolok bentuk pintunya. candi ini adalah susunan batu candi,ada diantaranya yg masih di renovasi. Candi Lawang ini tidak berpenjaga.
Ini adalah candi Hindu abad ke-9 yang menghadap ke arah Barat. Ya bisa karena di bilik utama ada yoni tanpa lingga. Yoninya juga unik karena memiliki saluran berlubang sebagai tempat keluarnya air. Mirip dengan yang di Candi Merak. Di sekeliling candi tidak ditemukan arca maupun relief. Yang ada hanya batu berornamen. Sekitar candi tersebar bebatuan yang belum disusun. Candi ini tepat berada di belakang rumah. Sepertinya keberadaan candi ini sudah diketahui sejak dulu. Satu lagi, candi ini cukup fotogenik.
Butuh perjuangan untuk bisa mencapai candi ini. Letak administratif candi ini ada di Dusun Gedangan, Kec. Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah. Dari Jogja menuju kota Boyolali bisa ditempuh selama 1,5 jam menggunakan sepeda motor. Rute yang paling singkat adalah Jogja-Klaten-Boyolali tanpa perlu melewati Kartasura. Untuk menuju Kec. Cepogo, arahkan kendaraan ke jalur menuju Ketep Pass. Sedangkan untuk menuju Candi Lawang, alangkah baiknya kalau bertanya kepada warga. Walau ada beberapa papan petunjuk arah ke candi, tetap saja kami menghabiskan waktu 30 menit untuk tersasar di Dusun Gedangan. Sekali lagi, tanyalah warga! Jangan segan karena warga disini ramah kepada pendatang.

Rupa-rupa

  • Dikenal sebagai kota susu, Boyolali terdapat banyak patung-patung sapi di sejumlah sudut kota.
  • Boyolali memiliki slogan pembangunan Boyolali Tersenyum (Tertib, Elok, Rapi, Sehat, Nyaman untuk Masyarakat).
Boyolali juga dikenal sebagai pusat daging sapi lokal, dengan ampel sebagai tempat pemotongan hewan serta pusat produsen berbagai macam abon abon sapi

Sejarah Kabupaten Boyolali Jawa Tengah

Posted by : Unknown 1 Comment
Tag : ,
Cilacap, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Cilacap.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di utara, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Jawa Barat) di sebelah Barat.

Berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat, Cilacap merupakan daerah pertemuan Budaya Jawa (Banyumasan) dengan Budaya Sunda (Priangan Timur).
Nusa Kambangan, sebuah pulau yang tertutup terdapat lembaga pemasyarakatan Kelas I, terdapat di kabupaten ini.
Pulau ini sering juga disebut sebagai AL Catraz-nya Indonesia.
Ada beberapa Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I yang masih aktif antara lain: LP Permisan, LP Kembang Kuning, LPBatu, dan LP Besi.

1. Zaman Kerajaan Jawa
Penelusuran sejarah zaman kerajaan Jawa diawali sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu sampai dengan Kerajaan Surakarta.
Pada akhir zaman Kerajaan Majapahit (1294-1478) daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap terbagi dalam wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit, Adipati Pasir Luhur dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang wilayahnya membentang dari timur ke arah barat :

- Wilayah Ki Gede Ayah dan wilayah Ki Ageng Donan dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
- Wilayah Kerajaan Nusakambangan dan wilayah Adipati Pasir Luhur
- Wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Menurut Husein Djayadiningrat, Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran setelah diserang oleh kerjaan Islam banten dan Cirebon jatuh pada tahun 1579, sehingga bagian timur Kerajaan Pakuan Pajajaran diserahkan kepada Kerajaan Cirebon.
Oleh karena itu seluruh wilayah cikal-bakal Kabupaten Cilacap disebelah timur dibawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang dan sebelah barat diserahkan kepada Kerajaan Cirebon.

Kerajaan Pajang diganti dengan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopatipada tahun 1587-1755, maka daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap yang semula di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang diserahkan kepada Kerajaan Mataram .

Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram mengadakan ekspansi ke Kabupaten Galuh yang berada di wilayah Kerajaan Cirebon.

Menurut catatan harian Kompeni Belanda di Benteng Batavia, tanggal 21 Pebruari 1682 diterima surat yang berisi terjemahan perjalanan darat dari Citarum, sebelah utara Karawang ke Bagelen.
Nama-nama yang dilalui dalam daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap adalah Dayeuhluhur dan Limbangan.

2. Zaman Penjajahan Belanda
Pembentukan Onder Afdeling Cilacap (dua bulan setelah Residen Launy bertugas) dengan besluit Gubernur Jenderal D.De Erens tanggal 17 Juli 1839 Nomor 1, memutuskan :

"Demi kepentingan pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih rapi di kawasan selatan Banyumas dan peningkatan pembangunan pe,abuhan Cilacap, maka sambil menunggu usul organisasi distrik-distrik bagian selatan yang akan menjadi bagiannya, satu dari tiga Asisten Resident di Karesidenan ini akan berkedudukan di Cilacap".

Karena daerah Banyumas Selatan dianggap terlalu luas untuk dipertahankan oleh Bupati Purwokerto dan Bupati Banyumas maka dengan Besluit tanggal 27 Juni 1841 Nomor 10 ditetapkan :"Patenschap" Dayeuhluhur dipisahkan dari Kabupaten Banyumas dan dijadikan satu afdeling tersendiri yaitu : afdeling Cilacap dengan ibu kota Cilacap, yang menjadi tempat kedudukan kepala Bestuur Eropa Asisten Residen dan Kepala Bestuur Pribumi Rangga atau Onder Regent.
Dengan demikian Pemerintah Pribumi dinamakan Onder Regentschap setaraf dengan Patih Kepala Daerah Dayeuhluhur.

Bagaimanapun pembentukan afdeling memenuhi keinginan Bupati Purwokerto dan Banyumas yang sudah lama ingin mengurangi daerah kekuasaan masing-masing dengan Patenschap Dayeuhluhur dan Distrik Adiraja.

Adapun batas Distrik Adiraja yang bersama pattenschap Dayeuhluhur membentuk Onder Regentschap Cilacap menurut rencana Residen Banyumas De Sturier tertanggal 31 Maret 1831 adalah sebagai berikut :

Dari muara Sungai Serayu ke hulu menuju titik tengah ketinggian Gunung Prenteng.
Dari sana menuju puncak, turun ke arah tenggara pegunungan Kendeng, menuju puncak Gunung Gumelem (Igir Melayat).
dari sana ke arah selatan mengikuti batas wilayah Karesidenan Banyumas menuju ke laut.
Dari sana kearah barat sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.
dari batas-batas Distrik Adiraja dapat diketahui bahwa Distrik Adiraja sebagai cikal-bakal eks Kawedanan Kroya lebih besar dari pada eks. Kawedanan Kroya , karena waktu itu belum terdapat Distrik Kalireja, yang dibentuk dari sub bagian Distrik Adiraja dan sebagai Distrik Banyumas.
Sehingga luas kawasan Onder Regentschap Cilacap masih lebih besar dari luas Kabupaten Cilacap sekarang.

Pada masa residen Banyumas ke-9 Van de Moore mengajukan usul Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 3 Oktober 1855 yang ditandatangani Gubernur Jenderal Duijmaer Van Tuist, kepada Menteri Kolonial Kerajaan Belanda dalam Kabinet Sreserpt pada tanggal 29 Desember 1855 Nomor 86, dan surat rahasia Menteri Kolonial tanggal 5 Januari 1856 Nomor 7/A disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Usul pembentukan Kabupaten Cilacap menurut Menteri Kolonial bermakna dua yaitu permohonan persetujuan pembentukan Kabupaten Cilacap dan organisasi bestir pribumi dan pengeluaran anggaran lebih dari F.5.220 per tahun yang keduanya memerlukan persetujuan Raja Belanda,setelah menerima surat rahasia Menteri Kolonial Pemerintah Hindia Belanda dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Maret 1856 Nomor 21 antara lain menetapkan Onder Regentschap Cilacap ditingkatkan menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap).

Daftar KEcamatan di CILACAP :
1. Adipala
2. Bantarsari
3. Binangun
4. Cilacap Selatan
5. Cilacap Tengah
6. Cilacap Utara
7. Cimanggu
8. Cipari
9. Dayeuhluhur
10. Gandrung Mangu
11. Jeruklegi
12. Kampung Laut
13. Karang Pucung
14. Kawunganten
15. Kedungreja
16. Kesugihan
17. Kroya
18. Majenang
19. Maos
20. Nusawungu
21. Patimuan
22. SAmpang
23. Sidareja
24. Wanareja

VISI DAN MISI
VISI
Visi Pemerintah Kabupaten Cilacap sesuai RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Cilacap Tahun 2008-2012 adalah
"Terciptanya Pemerintahan yang Tangguh, Terpercaya dan Mandiri Guna Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat"

MISI
Untuk mewujudkan visi Kabupaten Cilacap ditetapkan misi sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan pemerintahan daerah secara efisien dan efektif dengan mensinergikan upaya-upaya bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat (Good Governance).
2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik sumberdaya aparatur maupun sumberdaya masyarakat secara luas sebagai modal dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah.
3. Memberikan pelayanan prima dalam rangka menumbuhkan iklim investasi yang sehat.
4. Penguatan struktur perekonomian daerah melalui penguatan potensi ekonomi lokal.
5. Meningkatkan pembangunan atau penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur ekonomi, perdagangan, pendidikan dan kesehatan untuk mencapai derajat manusia yang bermartabat.
6. Meningkatkan kemampuan keuangan daerah dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah melalui kebijakan yang berpihak pada masyarakat.

LAMBANG DAERAH
Bentuk dan Wujud Lambang Daerah


Bintang Segi Lima;
Melambangkan keluhuran cita-cita masyarakat Daerah yang berkepribadian Pancasila.

Tugu Pahlawan dengan lidah api diatas gelombang Laut Selatan;
Tugu Pahlawan melambangkan perjuangan heroik masyarakat Daerah dimasa Revolusi 1945.
Lidah api menunjukkan hitungan 5, berarti perjuangan yang berdasarkan Pancasila.
Gelombang Laut Selatan dengan lekuk gelombang berjumlah 4 dihubungkan dengan lidah api (5) berarti bahwa perjuangan yang berkobar-kobar sejak Revolusi 45 berdasarkan UUD 45 dan jiwa juang 45.

Kembang Wijayakusuma;
Merupakan lambang Wahyu Negara pada saat masih berbentuk kerajaan.

Wijayakusuma menjadi nama pengenal khas dan merupakan lambang hidup daerah.
Kembang ini hanya ada dan tumbuh di Cilacap saja (bunga gaib).

Padi dan Kapas;
Melambangkan keluhuran cita-cita masyarakat Daerah mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat.
Padi dan Kapas bermakna kegiatan masyarakat di bidang pangan dan sandang.
Jumlah butir padi 17 dan kapas 8, dihubungkan dengan Kembang Wijayakusuma yang berkelopak 4 dan berdaun bunga 5, menunjukkan betapa keramatnya Proklamasi Tujuhbelas Delapan Empatlima.

Ikan Hiu;
Ikan Hiu melambangkan Cilacap berada di daerah pantai laut selatan, penghasil ikan, dan sebagian dari masyarakatnya adalah nelayan.

Warna Lambang Daerah dan maknanya
Warna Merah Hati :
keberanian, keuletan, kewaspadaan serta melambangkan perjuangan yang gagah berani
Warna Kuning Emas :
keluhuran didalam mengemban tugas
Warna Putih :
kesucian jiwa
Warna Hitam :
ketenangan dan ketabahan
Warna Hijau :
kesuburan dan kemakmuran
Warna Biru Laut / Biru Tua :
Cilacap terletak di pantai selatan, Samudera Indonesia

Seluruh warna menggambarkan kepribadian masyarakat Daerah.

MOTTO :
JALA BHUMI WIJAYAKUSUMA CAKTI

JALA : Air, Lautan
BHUMI : Tanah, Daratan
WIJAYAKUSUMA : Bunga Kejayaan
CAKTI : Ilmu Tertinggi

Artinya adalah :
"Kemampuan membudidayakan bumi, laut, air untuk kemakmuran"



Geografi

Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah. Luas wilayahnya sekitar 6,6% dari total wilayah Jawa Tengah. Begitu luasnya sehingga kabupaten ini memiliki dua kode telepon yaitu 0282 dan 0280.
Bagian utara adalah daerah perbukitan yang merupakan lanjutan dari Rangkaian Bogor di Jawa Barat, dengan puncaknya Gunung Pojoktiga (1.347meter), sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah. Kawasan hutan menutupi lahan Kabupaten Cilacap bagian utara, timur, dan selatan.
Di sebelah selatan terdapat Nusa Kambangan, yang memiliki Cagar Alam Nusakambangan. Bagian barat daya terdapat sebuah inlet yang dikenal dengan Segara Anakan. Ibukota kabupaten Cilacap berada di tepi pantai Samudra Hindia, dan wilayahnya juga meliputi bagian timur Pulau Nusa Kambangan.
Kenyataan bahwa sebagian penduduk Kabupaten Cilacap bertutur dalam bahasa Sunda, terutama di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan Jawa Barat, seperti Dayeuhluhur, Wanareja, Kedungreja, Patimuan, Majenang, Cimanggu, dan Karangpucung, menunjukan bahwa pada masa lalu wilayah barat daerah ini adalah bagian dari wilayah Sunda. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes) dan sungai Ciserayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Sejarah Kabupaten Cilacap

Posted by : Unknown 1 Comment
Tag : ,
Kabupaten Demak, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Demak. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di barat, Kabupaten Jepara di utara, Kabupaten Kudus di timur, Kabupaten Grobogan di tenggara, serta Kota Semarang dan Kabupaten Semarang di sebelah barat.

Etimologi

Kata Demak itu adalah berasal dari kata Bahasa Arab, yaitu Dhima' yang artinya rawa. Hal ini mengingat tanah di Demak adalah tanah bekas rawa alias tanah lumpur. Bahkan sampai sekarang jika Musim Hujan di daerah demak sering digenangi air,dan pada musim kemarau tanahnya banyak yang retak, maklumlah karena tanahnya tanah bekas rawa alias tanah lumpur. Karena tanah demak adalah tanah labil, maka jalan raya yang dibangun gampang rusak, oleh karena itu jalan raya di Demak menggunakan beton


Geografi

Kabupaten Demak adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi.
Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas ± 1.149,07 KM², yang terdiri dari daratan seluas ± 897,43 KM², dan lautan seluas ± 252,34 KM². Sedangkan kondisi tekstur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar. Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 M.
Beberapa sungai yang mengalir di Demak antara lain: Kali Tuntang, Kali Buyaran, dan yang terbesar adalah Kali Serang yang membatasi Kabupaten Demak dengan Kabupaten Kudus dan Jepara.
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 Km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha

SEJARAH DEMAK
Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling awal di pulau jawa.
Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar Sultan Syah Alam Akbar.
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya dengan berat hati raja menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung, sang putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden Patah dilahirkan dari rahim sang putri cina.
Nama kecil raden patah adalah pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di istana Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.
Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.
Patah sempat tinggal beberapa lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu. Di sana pula ia mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.
Raden patah mendalami agama islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisanga sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa.
Di Bintara, Patah juga mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat keramaian dan perniagaan. Raden patah memerintah Demak hingga tahun 1518, dan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerintahannya.
Secara beruturut-turut, hanya tiga sultan Demak yang namanya cukup terkenal, Yakni Raden Patah sebagai raja pertama, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan Sultan Trenggana, saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 - 1546).
Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.
Dalam bidang dakwah islam dan pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
Di antara ketiga raja demak Bintara, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa trenggan, daerah kekuasaan demak bintara meliputi seluruh jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Trenggana berhasil memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di tahun 1527, tentara demak menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari (purwodadi, jateng), dan tahun 1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah taklukan selanjutnya adalah medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531), Lamongan (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan hindu terakhir di ujung timur pulau jawa (1546).
Di sebelah barat pulau jawa, kekuatan militer Demak juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran (kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara tentara portugis yang akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan saudagar islam di Banten, Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran. Dengan jatuhnya Pajajaran, demak dapat mengendalikan Selat Sunda. Melangkah lebih jauh, lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut juga dikuasai dan diislamkan. Perlu diketahui, panglima perang andalan Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana.
Di timur laut, pengaruh demak juga sampai ke Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah pergantian raja banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat jawa pun masuk islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta diberi nama Islam. Selama masa kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar mengirimkan upeti kepada Sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang.
Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan Majapahit.
Trenggana sangat gigih memerangi portugis. Seiring perlawanan Demak terhadap bangsa portugis yang dianggap kafir. Demak sebagai kerajaan islam terkuat pada masanya meneguhkan diri sebagai pusat penyebaran Islam pada abad ke 16.
Sultan Trenggan meninggal pada tahn 1546, dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuran. Ia kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke masa jaya, keturunan sultan tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan pajang.
Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.
Masjid demak didirikan oleh Walisanga secara bersama-sama. Babad demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala Lawang Trus Gunaning Janma, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1479.
Pada awalnya, majid agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan islam pertama di jawa. Bagunan ini juga dijadikan markas para wali untuk mengadakan Sekaten. Pada upacara sekaten, dibunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan semacam pengajian akbar, hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Cepatnya kota demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islam ke seluruh Jawa.

Ada beberapa pendapat mengenai asal nama kota Demak, diantaranya :
Prof.DR. Hamka menafsirkan kata Demak berasal dari bahasa Arab “dama” yang artinya mata air. Selanjutnya penulis Sholihin Salam juga menjelaskan bahwa Demak berasal dari bahasa Arab diambil dari kata “dzimaa in” yang berarti sesuatu yang mengandung air (rawa-rawa). Suatu kenyataan bahwa daerah Demak memang banyak mengandung air; Karena banyaknya rawa dan tanah payau sehingga banyak tebat (kolam) atau sebangsa telaga tempat air tertampung. Catatan : kata delamak dari bahasa Sansekerta berarti rawa.
Menurut Prof. Slamet Mulyono, Demak berasal dari bahasa Jawa Kuno “damak”, yang berarti anugerah. Bumi Bintoro saat itu oleh Prabu Kertabhumi Brawijaya V dianugerahkan kepada putranya R. Patah atas bumi bekas hutan Gelagah Wangi. Dasar etimologisnya adalah Kitab Kekawin Ramayana yang berbunyi “Wineh Demak Kapwo Yotho Karamanyo”.
Berasal dari bahasa Arab “dummu” yang berarti air mata. Hal ini diibaratkan sebagai kesusahpayahan para muslim dan mubaligh dalam menyiarkan dan mengembangkan agama islam saat itu. Sehingga para mubaligh dan juru dakwah harus banyak prihatin, tekun dan selalu menangis (munajat) kepada Allah SWT memohon pertolongan dan perlindungan serta kekuatan.
SUMBER wikipedia

Kabupaten Demak

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : ,
Kabupaten Grobogan, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Purwodadi. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Blora di timur; Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Boyolali di selatan; Kabupaten Semarang di barat; serta Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Pati di utara.

SEJARAH

Berdasarkan perjalanan sejarahnya, Kabupaten Grobogan atau Daerah Grobogan sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram Hindu. Daerah ini menjadi pusat Kerajaan Mataram dengan ibu kotanya di Medhang Kamulan atau Sumedang Purwocarito atau Purwodadi. Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke sekitar kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i Watu atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura.

Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan merupakan daerah yang penting bagi negara tersebut. Sedang pada masa Mojopahit, Demak, dan Pajang, daerah Grobogan selalu dikaitkan dengan cerita rakyat Ki Ageng Sela, Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan dan cerita Aji Saka.

Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan termasuk Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif Bupati Nayoko Ponorogo : Adipati Surodiningrat. Dalam masa Perang Prangwadanan dan Perang Mangkubumen, daerah Grobogan merupakan daerah basis kekuatan Pangeran Prangwedana (RM Said) dan Pangeran mangkubumi.

Wilayah Grobogan meliputi daerah Sukowati sebelah Utara Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, Cengkal Sewu, bahkan sampai ke Kedu bagian utara (Schrieke, II, 1957 : 76 : 91 ). Daerah Sukowati ini kemudian sebagian masuk wilayah kabupaten Dati II Sragen antara lain : Bumi Kejawen, Sukowati, Sukodono, Glagah, Tlawah, Pinggir, Jekawal, dan lain-lain. Daerah yang masuk wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali antara lain lain : Repaking, Ngleses, Gubug, Kedungjati selatan, Kemusu, dan lain-lain.

Sedang daerah Grobogan yang kemudian termasuk wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan antara lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu, sela, Teras Karas, Medang Kamulan, Warung (Wirosari), Wirasaba (Saba), Tarub, Getas, dan lain-lain.

Dalam pekembangan sejarah selanjutnya, atas ketentuan Perjanjian Giyanti (1755), sebagai wilayah Mancanegara, Grobogan termasuk wilayah Kasultanan bersama-sama dengan Madiun, separuh Pacitan, Magetan, Caruban, Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu-Wirosari) (Sukanto, 1958 : 5-6).

Dalam perjanjian antara GG Daendels dengan PAA Amangkunegara di Yogyakarta, tertanggal Yogyakarta, 10 Januari 1811, ditetapkan, bahwa uang-uang pantai yang harus dibayar oleh Guperman Belanda di hapus. Kedua, kepada Guperman Belanda di serahkan sebagian dari Kedu (daerah Grobogan), beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga, distrik-distrik Grobogan, Wirosari, Sesela, Warung, daerah-daerah Jipang,dan Japan. Ketiga, kepada Yogyakarta diberikan daerah-daerah sekitar Boyolali, daerah Galo (?), dan distrik Cauer Wetan

Pada masa Perang Diponegoro, daerah Grobogan, Purwodadi, Wirosari, Mangor (?), Demak, Kudus, tenggelam dalam api peperangan melawan Belanda

Begitulah Kabupaten Grobogan, daerah yang selalu bergolak di sepanjang sejarahnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai daerah yang penuh daya dan semangat untuk hidup bebas merdeka. Bahkan sampai masa pergerakan Nasional dan masa kemerdekaan dan sesudahnya, rakyat Kabupaten Grobogan sangat besar andilnya dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Kabupaten Grobogan di Awal Sejarah

Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa

Di lain pihak cerita Aji Saka di daerah Kabupaten Grobogan juga merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita "lambang" bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa.
Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam

Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, "Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa". Aji Saka gumujeng amangsuli, "Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang kawartos puniko inggih kula".

Jangaran jaman Kala Dwapara ... Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka ... Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka.

Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar
Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji Saka adalah seorang raja yang kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan menjadi seorang Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa. Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang "desthar" (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan "nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi).

Sengkalan adalah perhitungan tahun yang diujudkan dalam bentuk rangkaian kata menjadi kalimat atau berupa gambar yang menunjukkan angka tahun. Kalimat itu harus menggambarkan keadaan pada waktu tahun itu. Tujuan untuk memperingati suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan bernegara.

Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut Sengkalan Lamba, sedang sengkalan yang diujudkan dalam bentuk gambar atau benda, disebut Sengkalan Memet. Tiap kata dalam kalimat atau gambar diberi nilai yang berbeda-beda antara 0 (nol) sampai angka 9 (sembilan) dengan mengingat akan adanya guru dasanama, guru karya, guru jarwa, dan sebagainya.

Beberapa contoh Sengkalan Lamba antara lain :

Srutti Indriya Rasa : termuat dalam prasasti Canggal atau prasasti Gunung Wukir dari Rakai Sang Ratu Sanjaya. Berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi, merupakan Sengkalan tertua yang pernah kita temukan.

Nayana Wayu Rasa : termuat dalam prasasti Dinaya dari raja Gajayana di "Candi Badut" dekat Malang. Sengkalan itu berangka 682 Saka atau 760 Masehi.

Nir Wuk Tanpa Jalu : termuat dalam Serat Kanda, berangka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Merupakan tahun penobatan Aji Saka jadi raja di Medhang Kamulan dengan gelarnya Prabu Jaka atau Empu Lobang Widayaka.

Sirna Hilang Kertaning Bumi : termuat di dalam Serat Kanda, berangka Tahun 1400 Saka ? Tahun 1478 Masehi. Sebagai pertanda keruntuhan Keprabuan Mojopahit.


Beberapa contoh Sengkalan Memet :

Di atas Panggung Sanggabhuwana yang terletak di halaman dalam istana Kasunanan Surakarta, terdapat bentuk ular naga bersayap yang dinaiki oleh manusia. Bila dibaca berbunyi : Naga Muluk Tinitihan Janma, berangka tahun 1708 Jawa atau 1781 Masehi.

Panggung tersebut dapat pula dibaca : Panggung Luhur Sangga Bhuwana. Artinya: panggung = pa agung bernilai 8; luhur bernilai 0 (nol); Sangga adalah perkumpulan para pendeta Budha bernilai 7 (tujuh); dan bhuwana bernilai 1 (satu), jadi 1708 Jawa atau 1781 Masehi. Atau dapat pula di baca : pa-agung (8); song (9); ga angka Jawa bernilai 1 (satu); bhuwana bernilai 1 (satu). Jadi 1198 Hijrah atau 1781 Masehi. Sengkalan ini sebagai peringatan pembuatan panggung tersebut.

Di dalam wayang kulit purwa terdapat wayang Bathara Guru naik di atas hewan Lembu Nandini. Di baca : Sarira Dwija Dadi Ratu. Bernilai 1478 Saka atau 1556 Masehi, ialah peringatan ketika Sultan Demak membuat wayang kulit purwo sebagai sarana dakwah Islam.

Ketika Sultan Agung membuat wayang kulit purwo, maka dibuatlah wayang kulit Buta Rambut Geni yang merupakan sengkalan pula. Bila dibaca : Jalu Buta Tinata Ing Ratu. Bernilai tahun 1553 Saka atau 1631 Masehi.

Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga.


Secara geografis, sekarang wilayah Kabupaten Grobogan memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur.

Pada Tahun 1078 M terdapat keturunan raja Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri Garasakan serta Sri Maharaha Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh Aji Saka tidak dapat disamakan dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan data-data sejarah yang ada, tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi memang ada gejala perebutan kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita Panji Panuluh. Justru perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa Mataram, yaitu masa Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa di Mataram. Dinasti Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra menganut agama Budha Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada masa Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti Syailendra). Taktik yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar adalah dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri Syailendra, kakak Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan. Peperangan antara Rakai Pikatan melawan Balaputera memang terjadi berdasarkan prasasti Ratu Baka (856 M = 778 Saka : Wulong Gunung Sang Wiku). Perang diakhiri dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha (Balaputera) dalam peristiwa tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa (Sumatra) dan menjadi raja Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.

Atas dasar kenyataan sejarah tersebut, maka cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai ceritera lambang yang sangat kuat mengandung unsur mitologis.

Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki-laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga laki-laki "dimakan" oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dan lain-lain. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi Mataram!

Sekarang dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu ?

Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata: Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti "ibu kota". Buktinya :

Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : "rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu". (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147). Artinya pembesar-pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.

Prasasti Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya "ri Mendhang ri Bhumi Mataram", artinya "di Medhang di Bumi Mataram". Dan nama ibukota ini dalam prasasti Tengaran tersebut disebut pula "Medhang i Bumi Mat i Watu" yang artinya "Ibukota di Bhumi Mat i Watu"
Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram, kota ini sebagai "kuthagara"nya di Mataram.
Sedang Kamulan berasal dari kata dasar "mula" mendapatkan awalan "ka" dan akhiran "an", membentuk kata benda. Arti "mula" adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh penjelasan tentang "mula" tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia I (1950).

Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan beberapa kali "Sang Hyang Dharma Kamulan", yang artinya "Mula Sang Hyang Dharma" Maksudnya adalah "pendahlu yang telah tiada, atau sebuah tempat pemakaman nenek moyang". Selanjutnya dalam Prasasti Singasari disebutkan (OJO 38) "apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan ia pangawan" yang artinya "sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan di Pangawan". Jadi disini kata "mula" berhubungan dengan "gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci.

Dalam Prasasti Karangtengah (824 M) diceritakan bahwa Ratu Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri Kahuluan th 842) mendirikan "Kamulan" di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan suci Borobudur. Di sini arti "Kamulan" adalah makam nenek moyang dan tempat pemujaan.


Dari penjelasan di atas kita dapat menduga mungkin yang dimaksudkan dengan kata "mula" di sini adalah "asal, cikal bakal, awal atau permulaan kejadian." Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula pertama atau asal kejadian.


Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak ibukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu, Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain. Sehingga ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke Sengguruh; dari Mojopahit ke Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered; dari Plered ke Wanakerta atau kartosuro, dan dari Kartosuro berpindah ke Surakarta, dan sebagainya.


Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang sebagai berikut :

Di sekitar Prambanan, sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat ibukota kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957 : 40). Juga dalam cerita Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan.

Letaknya di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas istana kerajaan Medhang.

Pendapat purbacarka dalam bukunya "Enkele Oud platsnamen" dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang

Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, kemudian berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke Prambanan lagi, baru sesudah itu berpindah ke Jawa Timur.


Alasan menentukan ibukota pertama di Purwodadi adalah :

"Purwa" berarti "permulaan" (Jawa: kawitan). "Dadi" artinya "jadi" (Jawa : Dumadi). Yang mula-mula jadi, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Hal ini dikaitkan dengan ceritera Aji Saka dengan Carakan Jawanya yang mengandung hidup, dan kehidupaan manusia "Manunggaling Kawula Gusti", dari sejak asal mula manusia di dunia ini.

Bila kita tinjau letak geografisnya, memang lebih sesuai, sebab didaerah tersebut mudah mencari air, padahal setiap makhluk membutuhkan air. Daerah ini memanfaatkan air sungai Lusi dan beberapa anak sungainya untuk lalu lintas, pengairan kebutuhan hidup sehari-hari. Lagi puia daerah ini tidak jauh dari laut, bahkan mungkin terletak di tepi pantai Laut Jawa.

Di dalam Primbon Jayabaya (hal.27) dikatakan bahwa Aji Saka naik takhta di negara Sumedang Purwacarita. Perkataan "Sumedhang" di sini bukanlah kota Sumedang di Jawa Barat sekarang, tetapi dimaksudkan kota Medhang yang sangat baik. Jadi Sumedang Purwacarita artinya ibukota Medhang yang sangat baik bagi (negara) Purwacarita. Purwa berarti permulaan; carita berarti cerita, kejadian, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Dengan demikian Sumedhang Purwacarita identik dengan Medhang (Mendhang) Kamulan yang lahir di Mataram (negeri ibu, ibu pertiwi) yang pertama kali.


Selanjutnya bagaimana cerita tentang Grobogan ?

Menurut cerita tutur yang beredar di daerah Grobogan, suatu ketika pasukan Demak di bawah pimpinan Sunan Ngudung dan Sunan Kudus menyerbu ke pusat kerajaan Mojopahit. Dalam pertempuran tersebut pasukan Demak memperoleh kemenangan gemilang. Runtuhlah kerajaan Mojopahit. Ketika Sunan Ngundung memasuki Istana, dia menemukan banyak pusaka Mojopahit yang ditinggalkan. Benda-benda itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah grobog, kemudian dibawa sebagai barang boyongan ke Demak.

Peristiwa tersebut sangat mengesankan hati Sunan Ngudung. Sebagai kenangan, maka tempat tersebut diberi nama Grobogan yaitu tempat berupa grobog.

Di atas dijelaskan, bahwa grobog adalah sebuah kotak persegi panjang yang digunakan untuk menyimpan uang atau barang yang dibuat dari kayu. Kadang-kadang berbentuk bulat, agar mudah membawanya dan dengan cepat dapat diselamatkan apabila ada bahaya mengancam, misalnya bahaya kebakaran. Tetapi grobog juga dapat berarti kandang yang berbentuk kotak untuk mengangkut binatang buas (misalnya: harimau) hasil tangkapan dari perburuan. Grobog tersebut dapat juga digunakan sebagai alat penangkap harimau. Grobog ini biasa disebut Grobog atau bekungkung (bila kecil disebut: jekrekan untuk menangkap tikus)

Dari penjelasan diatas, Grobogan berasal dari kata Grobog yang dalam salam ucapnya menjadi "grogol". yaitu alat penangkap binatang buas. Di Kotamadya Surakarta terdapat kampung bernama Grogolan, yang dahulu tempat mengumpulkan harimau hasil perburuan (digrogol atau dikrangkeng). Di perbatasan Kotamadya Surakarta dengan Kab. Dati II Sukoharjo terdapat desa yang bernama desa Grogol, Kec. Grogol, ialah daerah perburuan Sunan Surakarta dan Pajang pada zaman kerajaan.

Sejalan dengan penjelasan di atas maka Grobogan adalah sebuah daerah yang digunakan sebagai daerah perburuan. Dan ternyata daerah ini merupakan daerah perburuan Sultan Demak (Atmodarminto, 1962 : 119) atau merupakan daerah persembunyian para bandit dan penyamun zaman Kerajaan Demak Pajang (Atmodarminto, 1955 : 123). Pada zaman Kartasura daerah ini merupakan daerah tempat tinggal tokoh-tokoh gagah berani dalam berperang (Babad Kartosuro, 79), misalnya : Adipati Puger, Pangeran Serang, Ng. Kartodirjo, dan lain-lain.

Samana jeng Suitan karsa lelangen, amburu sato ing wanadri, Trenggono kadherekaken para abdi, mring Sela wus laju maring anggrogol sato wana

Dalam abad XIX daerah Grobogan merupakan daerah persembunyian para pahlawan rakyat penentang kekuasaan kolonial Belanda, bersama-sama dengan daerah Sukowati. Daerah ini sangat cocok sebagai daerah persembunyian, karena merupakan daerah hutan jati yang lebat dan berbukit-bukit.

Kabupaten Grobogan Pada Masa Mojopahit
Negara Mojopahit didirikan oleh Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana bersama kawan-kawannya dengan bantuan Arya Wiraraja atau Banyak Wide dari Sumenep, Madura. Lokasi istana di hutan Tarik yang kemudian di ubah menjadi sebuah ibukota kerajaan Mojopahit yang megah. Dewasa ini lokasi bekas Kotaraja Mojopahit itu terletak di desa Trowulan, daerah Kabupaten Dati II Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Mojopahit mengalami masa keemasan pada masa Prabu Hayam Wuruk Sri Rajasanegara (1350-1389) dengan Patih Hamangkubumi Gajah Mada. pada masa Prabu Rajasanegara itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Daerah-daerah di Jawa, setelah Kerajaan Pasundan ditakhlukkan atas siasat Gajah Mada, (peristiwa Bubat, 1357) seluruhnya tunduk di bawah duli Keperabuan Mojopahit. Teknik penguasaan daerah dilakukan dengan teknik perkawinan politik, perang, atau penempatan salah seorang anggota keluarganya di daerah Lasem, Tuban dan sekitarnya. Bhre Daha (Dahanpura) menguasai daerah Kediri, Blitar, Caruban, Sengguruh, dan sekitarnya. Bre Paguhan menguasai daerah Paguhan, Japan, Lamongan, Pasuruan dan sekitarnya. Bre Pajang menguasai daerah Pajang, Sukowati, Tarub, Medhang Kamulan, Jipang dan sekitarnya. Dengan demikian daerah atau Kabupaten Grobogan menjadi daerah yang penting pada masa Mojopahit.

Ketika sinar kekuasaan Keprabuan Mojopahit mulai suram, daerah-daerah keluarga raja tersebut mulai banyak yang memisahkan diri dari pusat kerajaan. Hanya daerah Grobogan yang masih tetap setia kepada pemerintah pusat Mojopahit. Ini terbukti bahwa : Buyut Masharar di desa Getas menjadi "juru sabin sang Prabu"; Ki Ageng Tarub menjadi orang kepercayaan Sang Prabu Brawijaya yang penghabisan. Daerah Getas, Tarub, Medhang Gati, Medhang Kana, Medhang Tantu dan beberapa desa di sekitarnya dijadikan daerah penghasil padi untuk kepentingan istana. Bahkan Raja mempercayakan puteranya : Bondan Kejawen untuk diasuh oleh Ki Buyut Mashahar dan berguru kepada ki Ageng Tarub (kidang Telangkas).

Di lain pihak kelemahan kekuasaan raja mendorong raja-raja daerah yang lain, terutama daerah pantai untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mojopahit. Daerah-daerah pantai beberapa diantarannya Gresik, Tuban, Lasem, Jepara dan lain-lain. Pada 1437, saudara Hayam Wuruk, yakni Bre Daha atau Dahonopuro melepaskan diri dari Mojopahit. Dohopuro dapat menguasai Madiun, Jagorogo, Pajang, Bojonegoro, Caruban serta beberapa daerah di Grobogan


Kerajaan ini bertekad akan mendirikan negara Mojopahit baru. Dyah Ronowijoyo mendirikan keluarga Girindrawardhana, yang kemudian berpusat di Keling sebelah timur laut Kediri (Daha). Dia menjadi raja di Keling 1474 dan pada Tahun 1478 dapat meruntuhkan kekuasaan kerajaan Mojopahit. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan yang berbunyi "sirna hilang kertaning bhumi", yang bernilai 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sebagai raja, Dyah Ronowijoyo mengambil gelar: Paduka Sri Maharja Sri Wilwatikta Pura Janggolo Kediri, Prabhunoto Sri Girindrawardhana nama Dyah Ranawijaya, yang berarti Sri Maharaja yang bersemayam di Keraton Mojopahit Sang Prabu Jenggolo dan kediri Sri Baginda Girindrawardhana nama Dyah Ranawijoyo.

Keruntuhan Mojopahit tidak berarti hancur sama sekali sebab sampai tahun 1486 masih ada berita tentang adanya kerajaan Majapahit yang berpusat di Sesungguruh. Muh Yamin memperkirakan lenyapnya Kerajaan Mojopahit sekitar Tahun 1525, yaitu setelah diserbu oleh pasukan koalisi Islam dari Demak. Sejak itu wahyu kerajaan Mojopahit berpindah ke Demak.

Patih Gajah Pramada atur uninga ing Sang Prabu, bilih Adipati Bintara salabanipun sampun nglenggahi pagelaran. Sang Prabu sabalipun nunten oncat saking kedhaton. Kala meratipun Prabu Brawijaya wau ing sakala ugi wonten ingkang katingal kados ndaru medal saking kedathon, kados kilat, swaranipun gumudlug nggeririsi, dhumawah ing Bintara
Dengan peristiwa "sirna hilang kertaning bhumi" tersebut banyak kaum kerabat dan putra-putri raja menyingkir keluar dari Mojopahit. Sebagian menyingkir ke sekitar Gunung Lawu. Di sini membangun Candi Sukuh dan Ceta sebagai pernyataan penyerahan diri kepada Tuhannya. Putra-putra Prabu Brawijaya : ada yang sampai di Ponorogo dan mengangkat diri sebagai raja dan gelarnya : Bathara Katong Ponorogo. Sedang yang lain bernama Raden Guntur atau R. Gugur menyingkir ke Gunung Lawu, dan biasa disebut Sunan Lawu. Sedang yang lain lagi mengungsi ke daerah Sela, Tarub, Getas dan Pajang.

Perlu diketahui bahwa Prabu Brawijaya Penghabisan mempunyai beberapa orang isteri, yaitu :
Endang Sasmitapura atau Endang Sasmitawati, seorang puteri raksasa, berputera Jaka Dilah atau Arya Dilah atau Arya Damar, diangkat menjadi Bupati di Palembang.
Puteri Cina Liem Kim Nio, yang ketika sedang mengandung "ditrimakake" kepada Arya Damar. Dari kandungannya itu lahirlah Raden Timbal atau R. Patah, raja dan pendiri kerajaan Demak dengan gelarnya Panembahan Jimbun atau Sri Sultan Ngalam Akbar. Raja ini telah menganut agama Islam dan berpusat di Bintara Demak dan mendapatkan dukungan kuat dari para wali (Wali Sanga).
Putri Drarawati, berputera puteri yang dikawinkan dengan Raden Jaka Sengara, putera Ki Bajul Sengara, raja buaya. Jaka Sengara mendapatkan hadiah puteri tersebut karena dia dapat mengalahkan pemberontak Menak Dali Pethak dari Blambangan. Sebagai hadiahnya dia diberi seorang puteri dan diangkat sebagai Adipati Pengging dengan gelarnya Pangeran Adipati Handayaningrat atau Adipati Dayaningrat. Adipati Dayaningrat berputera Ki Kebo Kanigara dan Ki kebo Kenanga. Ki Kebo Kenanga berputera mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, pendiri kesultanan Demak di Pajang.
Puteri Wandan Kuning, berputera Bondan Kejawen atau Lembu Peteng atau Ki Ageng Tarub II. Bondan Kejawen kawin dengan Nawangsih, puteri Ki Ageng Tarub I dengan Dewi Nawang Wulan. Perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih berputera Ki Ageng Enis-berputera Ki Ageng Pemanahan-berputera Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Panembahan Senapati, raja pertama Kerajaan Mataram.

Dari silsilah tersebut ternyata, bahwa dari daerah Grobogan (Getas, Sela) lahirlah tokoh- tokoh yang menjadi nenek moyang raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram. Maka tidaklah aneh apabila raja-raja Surakarta dan Yogyakarta menaruh perhatian besar terhadap daerah Grobogan, khusunya daerah yang dahulu menjadi milik kerabat Sela. Hal ini terbukti pula bahwa pada ketentuan perjanjian Giyanti 1755 daerah Grobogan masuk kedaerah Kesultanan Yogyakarta. Sampai sekarang Makam Ki Ageng Sela di Desa Sela masih dalam pengawasan dan pemeliharaan Kasultanan Yogyakarta.

Kabupaten Grobogan Pada Masa Demak - Pajang

Sementara keperabuan Mojopahit mengalami disintragasi, dinasti Girindrawardhana dapat merebut takhta kerajaan pada Tahun 1486 M. Raja dari dinasti ini bernama Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatikta Pura Jenggolo Kadiri Prabunatha Sri Girindrawardhana nama Dyah Ronowijoyo (Muh Yamin, 1958: II : 235). Nama ini berarti Sri Maharaja yang bersemayam di Keraton Mojopahit Sang Prabu Jenggolo Kadiri Sri Baginda Girindrawardhana nama Dyah Ronowijoyo.

Walaupun pada Tahun 1486 itu Mojopahit masih ada rajanya, namun mereka sudah tidak mampu lagi mengembalikan masa Kejayaan Mojopahit seperti pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Hal ini disebabkan, disamping ada beberapa daerah yang memerdekakan diri, juga pada masa itu agama Islam telah melebarkan sayap pengaruhnya di Jawa. Tokoh-tokoh seperti Ki Buyut Masharar, Ki Ageng Tarub, Raden Rachmat di Ampel, Puteri Cempo adalah toko-tokoh Islam yang sudah mulai memasuki istana. Kota-kota di pantai utara Jawa sudah banyak yang masuk Islam, misalnya : Giri, Gresik, Ampel, Leran, Lasem, Jaratan, Tuban, Sidayu, Bintoro, dan sebagainya. Kota-kota ini tidak mau lagi mengabdi kepada raja Mojopahit yang beragama Hindu.

Dalam keadaan disintegrasi masyarakat inilah, maka para Guru Agama (Islam) berperanan penting dalam penyebaran agama Islam itu. Mereka itu adalah para wali dan di Jawa terkenal adanya "Wali Songo". Secara bertahap Islam mulai memasuki daerah pedalaman, wilayah Mojopahit. Agama ini berkembang dengan baik di daerah-daerah perdikan, misalnya: di Sela, Tarub, Getas, Tal Pitu, Jenar, Banyubiru, Tingkir, Pengging Ngerang dan lain-lain. Daerah-daerah Ki Buyut dan Ki Ageng merupakan mandala perguruan Islam yang animistis.

Dari daerah-daerah itulah bekembang agama Islam Kejawen. Guru dan murid-muridnya kemudian menjadi tokoh-tokoh penting pada masa Pajang dan Mataram. Disamping daerah teersebut menjadi daerah Demak dan kemudian daerah Pajang, termasuk di dalamnya adalah daerah-daerah Jipang, Tuban, Jepara, Juanan, Kudus, Cengkal Sewu, Grobogan dan lain-lain.

Dari kenyataan di atas, jelas bahwa Kabupaten Grobogan sekarang ini sebagian terbesar termasuk wilayah kekuasaan Demak dan kemudian Pajang. Bahkan pada masa Pajang, kerabat dari Sela yang berada di Pajang, yaitu Ki Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi (putra angkat Ki Ageng Sela), ikatan kerabat dari sela tersebut dengan Pajang bertambah erat dengan diangkatnya putera Ki Ageng Pamanahan, yaitu Raden Bagus (atau Bagus Srubut) yang dalam Serat Kanda di sebut Raden Mas Danang, menjadi putera angkat Sultan Pajang Hadiwijaya.

Putera angkat itu diberi nama Sutowijoyo, dan karena tempat tinggalnya di sebelah utara pasar Pajang maka disebut Mas Ngabehi Loring Pasar. Pengangkatan ini dimaksudkan sebagai "lanjaran" agar Sultan segera memperoleh putera sendiri dari permaisuri (Meinsma, Babad: 48; Altoff, Babad: 51). Tindakan Sultan inilah yang kemudian mengakibatkan bahwa antara Sela dan Lawiyan serta kemudian Mataram bersatu menentang Pajang. Lawiyan adalah tempat Ki Ageng Enis, yang oleh Sultan dari Sela dipindahkan ke Pajang dan disebut ki Ageng Lawiyan.

Daerah Jipang (Bojonegoro dan Blora) diperoleh Pajang setelah Sultan dapat membunuh Harya Panangsang, penguasa di Jipang. Pembunuh Haryo Penangsang adalah empat serangkai dari Sela, yaitu Pamanahan, Panjawi, Juru Martani dan Sutowijoyo. Sebagai hadiahnya maka Pamanahan memperoleh bumi Mataram, dan Panjawi memperoleh daerah Pati. Sedang Juru Martani dan Sutawijoyo ikut Pamanahan. Juru Martani menjadi Patih Sultan dan nantinya menjadi Patih Senopati (Sutowijoyo) di Mataram dengan gelarnya Adipati Mandaraka.

Daerah lain yang juga di bawah pengaruh Pajang adalah Kalinyamat atau daerah Prawata, yang dengan suka rela oleh Ratu Kalinyamat diserahkan ke Sultan Pajang yang dapat membunuh musuh utamanya : Harya Panangsang.


wisata

Di Kabupaten Grobogan berlokasi gejala alam langka berupa kawah lumpur (bledug) yang dinamakan Bledug Kuwu (karena berlokasi di Kuwu). Kawah ini secara berkala (selang 2-3 menit) melepaskan lumpur mineral dalam bentuk letupan besar (setinggi hingga 2m). Oleh penduduk setempat lumpur ini dimanfaatkan mineralnya untuk pembuatan konsentrat garam yang disebut bleng (IPA:/blɚŋ/) dan dipakai, misalnya, dalam pembuatan kerupuk karak.

Api abadi Mrapen


Di sisi barat wilayah kabupaten ini juga ditemukan sumur api abadi Mrapen, yang menyemburkan api tanpa henti. Umat Buddha selalu mengambil api ini untuk menyalakan obor yang dibawa dalam parade menyambut perayaan Waisak.

Makam Ki Ageng Selo


Di sebelah timur kota Purwodadi terletak makam salah satu tokoh pendiri dinasti Mataram Islam, Ki Ageng Selo. Namanya disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai pendamping Ki Ageng Pemanahan, nenek moyang dari kerabat kraton Jawa masa kini.


sumber wikipedia

Kabupaten Grobongan

Posted by : Unknown 2 Comments
Tag : ,

- Copyright © 2013 Ryanoid History - Shingeki No Kyojin - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -